“ PETANI YANG BERTAHAN HIDUP DI METROPOLITAN”
Di antara para petani metropolitan yang paling tulen barangkali karmo. Maklum asal muasalnya dia bukan buruh bangunan nganggur, tapi petani asal Rengasdengklok, karawang, yang terdampar di jakarta 5 tahun yang lalu. Setelah sempat setahun menjadi buruh pabrik sabun, dia mendapat informasi dari seorang satpam tentang lahan kosong di jalan Perintis Kemerdekaan, Jakarta Utara, yang boleh dimanfaatkan.
Pria berumur 48 tahun yang berwajah lugu, nyaris sebulan dia sendirian membuka lahan yang penuh semak belukar itu. Untuk tempat tinggalnya, dia membangun bedeng disana. Dari pagi sampai siang ia masih memburuh di pabrik sabun. Menurutnya, tanah disitu jelek sekali dan penuh puing. Tanaman awal Cuma singkong dan jagung, karena jenis tanaman ini tidak memerlukan banyak air.
Sore itu dia baru selesai menyirami tanaman sayur mayurnya. Selama dua tahun dia Cuma berhasil membebaskan lahan 4.000 meterpersegi dari semak belukar. Tapi dalam periode itu secara bertahap dia punya tetangga. Mereka kaum urbanisasi yang mencoba peruntungan di lahan yang luas seluruhnya hampir 20.000 meterpersegi itu.
Pemda DKI Jakarta melalui Dinas Pertanian memberi perhatian pada usaha petani metropolitan ini. Caranya dengan mengirimkan tenaga penyuluh pertanian. Mereka juga diarahkan berkebun sayur mayur, tanah yang sudah lebih subur karena dipupukindengan sampah oleh Karmo. Waja Karmo sampai dikenali oleh oleh para pemukim di rumah mewah di kawasan itu, karena dia rajin mengumpulkan sampah dari rumah ke rumah.
Sekarang lahan itu tampak cantik. Petak-petak tanah itu sudah berseri dengan tanaman bayam merah, sawi ijo, bokcoy, kemangi, kangkung. Masalah air diatasi dengan ceridik. Dari semula terpaksa meniba air selokan di tepi jalan, sekarang dia menggunakan mesin untuk menyedot air itu, yang dialirkannya ke sumur-sumur penampungan yang tersebar di beberapa tempat. Setelah dibiarkan selama 3 hari, air itu menjadi jernih dan bisa dimanfaatkan sebagai penyiram tanaman.
Sejak dua tahun yang lalu istrinya Rochimi, anaknya Dedin, dan keponakannya Narsid, didatangkan dari kampung untuk ikut bekerja di kebunnya ini. Sebagai tempat tinggal, mereka membangun gubuk di belakang pabrik tak jauh dari kebunnya. Rochimi membuka warung sayur di tepi jalan, yang laris sekali karena menjual sayuran segar. Sedangkan Dedin bertugas sebagai tenaga pemasok sayur ke pasar, perumahan, dan restoran-restoran.
Kalau dihitung-hitung hasil kotor perbulan sekitar Rp 1.800.000 tetapi bila di kurang dengan pengeluaran hasilnya pas-pasan. Dengan pengeluarn yang banyak apalagi sekarang ini semua serba mahal, harga sebungkus bibit kangkung Rp 10.000 belum lagi ditambah biaya pupuk, dan untuk makan sehari-hari.
Itulah kisah para petani metropolitan kita. Ketika kemiskinan semakin melilit, ketika musik keroncong di perut tak kunjung berhenti, rasanya memang tak pantas membiarkan lahan melompong. Mungkin lebih manusiawi membiarkan wajah metropolitan Jakarta ini sedikit luntur dengan di sana-sinii terselip pemandangan ‘ desa’.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar