Kamis, 08 April 2010

Pelanggaran Hak Cipta di Internet Sulit Diantisipasi

Sampai saat ini pemerintah Indonesia belum memiliki perangkat perundangan yang mengatur ihwal pelanggaran hak cipta di dunia internet (cyber). Perangkat yang ada Undang-undang No 14/1997 tentang hak cipta dan UU no 15 tahun 2001 tentang merek ternyata tidak bisa menjangkau dunia `maya` ini.

Padahal, cyberspace yang tanpa tersekat oleh ruang dan waktu ini rawan menjadi sasaran pelanggaran hak cipta. Sebuah perusahaan bisa bebas menggunakan nama domain untuk kepentingan perusahaannya. Tidak seperti perdagangan tradisional, di mana beberapa perusahaan yang berbeda bisa menjadi pemilik merek dagang yang sama, meskipun produk atau layanan jasanya berbeda. Di dunia cyber justru sebaliknya, hanya satu nama yang dapat diambil sebagai nama domain. Karenanya, sebuah perusahaan yang mendaftarkan pertama kali akan menggugurkan hak perusahaan lain untuk menggunakan nama yang sama di cyberspace.

Karya cipta dalam media website memungkinkan seluruh karya seseorang dipublikasikan dengan salinan yang dapat didistribusikan kepada penggunanya. Masalahnya, salinan ini tidak sesederhana salinan kertas. Salinan elektronik ini dapat dengan mudah didistribusikan oleh pengakses.

Kalau materi yang disalin ada pada domain umum dipastikan tidak akan ada persoalan. Namun, masalah akan muncul jika pengakses adalah perusahaan media cetak yang akan mendistribusikan salinan itu ke pembacanya dengan merubah status penulisnya.

Umumnya, masalah ini masih menjadi hal biasa di Indonesia. Banyak media cetak yang menyalin informasi dari sebuah website tanpa menyertakan sumber informasi atau nama website tersebut. Hal seperti ini belum bisa dikatagorikan sebagi pelanggar hukum karena undang-undangnya memang belum ada.

Meskipun pelanggaran ini relatif masih bisa dimaklumi, tetapi tetap tidak bisa ditoleransi. Solusinya, Indonesia harus secepatnya membuat Undang-undang khusus yang mengatur dunia cyber.